Sebenarnya, siapa sih yang memberi sensor televisi Indonesia? Apakah KPI, LSI, atau… Illuminati? Berikut ini penjelasannya serta contoh bahwa sensor dalam anime/kartun bisa dilakukan tanpa asal main blur.Banyak yang percaya bahwa semua sensor yang ada di televisi dilakukan oleh KPI. Hal ini tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Sebenarnya, yang memberi sensor tersebut adalah stasiun televisi itu sendiri. Jadi, dalam kasus Shizuka, hal tersebut dilakukan oleh stasiun televisi yang bersangkutan. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa sensor tersebut dilakukan atas aturan yang diberikan oleh KPI.Belakangan ini, ramai kembali sensor yang dilakukan terhadapShizuka dalam anime Doraemon. Meskipun kejadian salah sensor ini bukan hal yang baru, tetapi hal ini kembali menarik perhatian publik kepada kebijakan sensor yang dilakukan oleh KPI. Apakah memang harus disensor… seperti itu? Sebelum kita membahas bagaimana seharusnya sensor itu dilakukan, ada hal lain yang cukup menarik untuk dibahas terlebih dahulu: sensor televisi Indonesia sebenarnya bukan dilakukan oleh KPI! Lho, kok!?
Nah, kini kita beralih ke pertanyaan: “Sensor televisi Indonesia, siapa yang salah?” Jika pertanyaannya demikian, mungkin jawaban yang paling adil adalah: semuanya.
KPI salah karena mengeluarkan kebijakan sensor yang kurang tepat—dalam berbagai kasus seperti anime, hewan dan adegan kekerasan yang selalu disensor. Seharusnya KPI mengkaji ulang untuk masalah apa yang layak dan apa yang tidak layak untuk ditayangkan.
Pihak stasiun televisi pun salah karena mereka main sensor disana-sini dengan cara asal-asalan yang penting “aman”—main blur. Dalam kasus Shizuka, rasanya lebih tepat lagi kalau sebagian besar porsi kesalahan kita tumpahkan pada stasiun televisi yang bersangkutan. Padahal kalau mau belajar dari instansi milik negara lain yang menangani masalah sensor, stasiun televisi itu mungkin bisa melakukan sensor tanpa harus merugikan atau membuat emosi penonton. Misalnya sensor yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap gambar yang bergerak—lebih tepatnya dalam anime Yokai Watch:
Versi Jepang∇
Kasusnya hampir sama seperti Shizuka, yaitu anak-anak perempuan yang mengenakan baju renang. Bedanya, sensor diatas terlihat lebih niat: alih-alih diberi efek blur, pakaian renang mereka diedit. Sensor yang mereka lakukan pun tidak hanya sebatas edit sedikit dari adegan yang ada lho! Bahkan ada adegan yang diganti seluruhnya. Misalnya adegan yang memperlihatkan cowok-cowok gymn mengenakan celana dalam pun diganti total dengan acara memasak:
Versi Jepang∇
Mungkin terdengar egois, tapi itu sudah menjadi tanggung jawab pihak stasiun televisi yang bersangkutan. Lalu bagaimana jika pihak televisi memutuskan untuk tidak menayangkan anime karena mereka tidak mau rugi (baca: tidak mau repot) mengeluarkan biaya untuk melakukan sensor? Berarti mereka memang sejak awal tidak memikirkan penonton. Sederhana.Hal yang sama juga pernah diterapkan oleh Amerika Serikat terhadap Doraemon supaya anime tersebut jadi lebih cocok untuk dikonsumsi anak-anak disana. Untuk animasi dan kartun, contoh-contoh diatas jelas jauh lebih baik daripada asal blur. Masalah bisa atau tidaknya stasiun televisi untuk melakukan sensor seperti diatas, itu masalah mereka karena memang itu pekerjaan mereka.
Gambar: Kaskus, Rocketnews
0 komentar:
Posting Komentar